blok ini di peruntukan bagi kita semua yang mau peduli dengan bahasa dan budaya bangsa

Kamis, 12 September 2013

MEMAHAMI PUISI CHAIRIL ANWAR

SELAMAT TINGGAL Goresan Pena:Chairil Anwar Aku berkaca Ini muka penuh Luka Siapa punya? Kudengar seru menderu ..... dalam hatiku? ..... Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah.................. ?? Segala menebal, segala mengental Segala takku kenal ................ !! Selamat tinggal ................! ! Kumpulan Puisi Chairil Anwar (Deru Campur Debu), Cetakan kedelapan, 2010:5 Dari Sisi Lapis Suara Sajak tersebut berupa satuan-satua suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara)sajak itu: suara frase dan suara kaliamat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu iyalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, disini bahasa indonesia. Hanya saja, dalam puisi membicarakan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni (Rachmat Djoko Pradopo, 2009:16) Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi (peluang bunyi vokal pada deretan kata) u dan a; ‘aku berkaca’. Di baris ke dua ada aliterasi a yang berulang-ulang:.... muka.... luka, siapa punya. Begitu juga dalam baris keempat ada asonansi u: ‘seru-menderu’, baris kelima dan keenam dijumpai kata ‘hatiku-lalu’ yang asonansinya u. Dan pola sajak akhiran bait ke-1, 2, 3, dan 4: yang bersajak aaa, karena di dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Selamat Tinggal” ini setiap bait memiliki tiga baris. Setiap si pengarang ingin bertanya, memerintah meninggikan atau menaikan suatu nada bunyi, banyak sekali memberikan tanda baca titk(.), tanda seru(!), dan tanda tanya(?) yang berlebihan. Contoh: Bait kedua baris kedua; ..... dalam hatiku? ....., Bait ketiga baris ketiga; Ah.................. ??, Bait keempat baris kedua; Segala tak kukenal ................ !!, dan Bait keempat baris ketiga; Selamat tinggal ................ !!. Banyak dijumpai tanda-tanda baca yang berlebihan. Dari Sisi Lapis Arti Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua satuan arti (Rachmat Djoko Pradopo, 2009:17). Dalam bait pertama, ‘Aku berkaca’ berarti; Si penulis, menyadari dia harus mengoreksi diri, bahwa manusia itu memiliki kekurangan dan kelebihan, menulis mencari dimana letak kekurangannya; berteladan kepada; berkacalah kepada orang tua agar bersikap bijaksana. Pepatah mengatakan ‘jangan bercermin (kaca) air yang keruh’, maksudnya adalah jangan meniru perbuatan orang yang buruk. ‘Ini muka penuh luka siapa punya?’Si penulis bertanya-tanya muka siapa yang luka, maksud luka disini iyalah muka yang penuh dosa, seorang yang menderita, Kekurangan-kekurangan pribadi atau keburukan-keburukan. Dalam bait kedua,‘Kudengar seru menderu..... dalam hatiku? .....Apa hanya angin lalu?’. Si penulis bertanya-tanya di dalam hati,berita yang didengardi telinganya sepintas laluapakah benar atau hanya sepintas angin lalu saja. Dalam bait ketiga, ‘Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta’ Si penulis menjadi pusing/ bingung mengdengar lagu (tingkah laku atau suara-suara lain) di waktu tengah malam buta(larut malam) apakah benar-benar berita itu terjadi. Tapi, Si penulis Pusing yang mana ingin didengarnya, apakah bisikan dalam hatinya, bisikan anging lalu yang melintas di telinganya atau lagu lain pula yang didengar di waktu tengah malam. Lalu Si penulis mengambil keputusan, Si penulis berteriak, Ah..................??. walaupun pikirannya masih bertannya-tanya. Dalam bait keempat,’Segala menebal, segala mengentalSegala takku kenal ................ !!’. Si penulis bulat mengambil keputusan tegas bahwa yang dia pikirkan “segala menebal”, maksud menebal adalah kasar dan tidak berbelas kasian. “segala mengental”, maksud mengental adalah membeku, padat, keras hati Si penulis. “Segala takku kenal................!!”. Si penulis sudah tidak memperdulikan lagi. Bahwa dia percaya apa yang ada di dalam hati kecilnya bahwa Si penulis tidak menghiraukannya (takku kenal). Maka Si penulis benar-benar tekat bahwa dia meninggalkan berita atau ucapan orang lain yang bisa merugikannya. Maka Si penulis mengakhiri puisinya dengan kata “Selamat tinggal ................! !”, maksud selamat tinggal disini Si penulis percaya diri, harus sabar dan tenang mengambil keputusan suatu masalah. Harus berpikir-pikir terlebih dahulu. Di dalam gurindam dua belas pasal kesebelas bait keempat karangan Raja Ali Haji bin Tengku Haji Ahmad mengatakan “hendak marah dulukan hujah”. Maksudnya adalah orang yang suka marah darahnya selalu naik akibatnya hilang akal sehat, perbuatan jelekpun muncul. Dalam bait ini diisyaratkan untuk mendidik karakter, supaya karakter marah jangan dipelihara. Marah harus tepat sasaran. Marah adalah perbuatan tidak terpuji. Yang dikemukakanolehProf. Dr. H. Maswardi Muhammad Amin, M. Pd, dalambukunyaPendidikan karakter anak bangsa, 2011: 192. Jadi, sangat tepatlah Si penulis mengambil keputusan bahwa dia ingin meninggalkan, meninggalkan bukan berarti tidak menerima kenyataan, tidak bertanggujawab, atau lari dalam permasalahan. Tetapi, Si penulis tidak mau marah melihat kenyatan, tidak tau dengan siapa si penulis ingin menghujah. Maka dari itu Si penulis mengatakan “Selamat tinggal ................! !”.