blok ini di peruntukan bagi kita semua yang mau peduli dengan bahasa dan budaya bangsa

Rabu, 01 Agustus 2012

CERPEN "

JALAN LAIN KE ROMA karya IDRUS OPEN mula-mula jadi guru sekolah rakyat, sudah itu jadi mualim, lantas jadi pengarang, kemudian jadi tukang jahit. Tentang perawakannya tak banyak yang dapat diceritakan. Ia punya dua kaki, dua tangan, dua telinga, dua mata dan satu hidung. Bahwa lobang hidungnya ada dua, itu sudah sewajarnya. Open seperti manusia lain, lain tidak. Tapi namanya memang mempunyai riwayat. Itu tidak dapat disangkal. Beribu-ribu nama lain ada, Abullah dan Effendi, Al’aut dan binuwak – enak kedengaran dan sedap dilihat jika tertulis. Dan orang-orang yang kritis sudah pasti tidak akan merasa puas, jika tidak diterangkan mengapa Open bernama Open. Open sendiri sudah barang tentu tak ada bagiannya dalam memberi nama itu. Waktu itu ia masih merah : sebentar-sebentar ia berteriak dan buru-buru datang ibunya berbuka dada disodorkannya ke mulut bayi ini sesuatu yang menjulur dari dada terbuka itu. Open menghirup dengan senangnya, berhenti berteriak dan setelah selesai, tidur dengan nyenyaknya. Pekerjaan ayah dan ibunyalah memberikan nama itu dan orang yang pernah mengalami ini, pasti akan mengakui, bahwa pekerjaan itu bukan pekerjaan mudah. Mula-mula ayah dan ibu ini mau menanyakan kepada dukun, apa nama yang terbaik bagi anaknya. Tapi ini segera dibuangnya jauh-jauh. Mereka merasa hina berhubungan dengan dukun, karena di sekolah HIS dulu mereka belajar, bahwa dukun pembohong, tidak pintar dan harus dijauhi, jika hendak selamat. Sudah itu mereka hendak memberikan nama “Ali” saja kepada anaknya, tapi tetangganya juga bernama Ali dan ia ini adalah buaya besar, penjudi, pengadu ayam. Dan mereka tak mau anaknya jadi buaya dan pengadu ayam pula kelak. Pada suatu hari ayah itu bermimpi. Mimpi tentang kota New York dengan gedung-gedungnya yang menjangkau awan, tapi entah karena apa, selalu saja mendengking di telinganya satu perkataan Belanda : openhartig. Waktu ia mandi pagi-pagi keesokan harinya masih kedengaran olehnya, seperti ada orang yang memekikkan kepadanya : openhartig- openhartig- openhartig. Ya, waktu ia di kamar kecil pun, tentang mana orang tak pernah openhartig, di sini pun membisik di telinganya : openhartig- openhartig- openhartig. Dan waktu hal ini diceritakan ayah ini kepada istrinya, istri itu meloncat setinggi langit dan gembira ia berkata, “Ini bisikan Tuhan, tolol. Anak kita harus jadi orang terus terang, openhartig. Mari kita namakan saja – Open.” Ayah itu membelalakan matanya dan katanya, “Apa katamu? Anak kita diberi nama Open? Kau gila!”. Tapi seperti biasanya dalam hal ini, istri mesti dan selalu menang dan begitu Open bernama Open. Apakah ia besarnya betul-betul akan jadi orang terus terang, openhartig, tentu orang lain yang mesti menentukan, bukan Open. Tapi waktu ia dengar dari ibunya tentang riwayat namanya ini, sejak dari itu, Open sungguh-sungguh berniat dalam hatinya akan mengabulkan cita-cita ibunya itu, artinya ia akan berusaha sedapat mungkin dalam kehidupannya akan berterus terang dalam segala hal. Waktu ia jadi guru sekolah rakyat, saban ia hendak masuk kelas untuk memberi pelajaran, ia selalu ingat kepada cita-cita ibunya ini, dan sebab itu ia selalu mulai pelajarannya dengan, “Selamat pagi, Anak-anak. Kemarin aku telah kawin dengan seorang gadis di kota ini.” Aku sengaja tidak mengundang kamu sekalian, karena aku pikir, kamu tokh tak akan dapat memberi apa-apa. Apa pula yang dapat diharapkan dari Anak-anak, bukan? …… eh, amat …… berapa 41X 41!? Atau pada lain kali ia menceritakan panjang lebar tentang perselisihannya dengan istrinya itu. Waktu itu ia pakai celana pendek saja dan istrinya pegang golok. Kata-kata bersahut dengan kata dan tiba-tiba istrinya mengejar dia dengar golok itu dan dia lari puntang-panting. Dan bagaimana ia lari itu, dicobakannya pula di muka kelas. Anak-anak pada tertawa, seorang berkata, “Ah, Pak Guru takut sama iistri.” Yang lain berkata, “Kasihan Pak Guru, dirong-rong terus-terusan oleh istrinya.” Anak-anak yang berpihak pada pendapat pertama lebih banyak dan itu sebabnya sejak dari itu Open bernama : guru golok, dan karena perkataan golok sangat baik bersajak dengan goblok, Open akhirnya bernama : guru goblok. Setiap ia masuk kelas ada saja anak nakal yang berteriak keras-keras : “Selamat pagi, Guru Goblok … blok … blooook.” Atau jika ia pagi-pagi masuk dengan sepeda antiknya ke dalam pekarangan sekolah berteriak dari segala jurusan, “Goblooooook …. Goblooook … goblooooook.” Orang yang sesabar-sabarnya akhirnya marah juga. Dan Open adalah orang yang selalu menurutkan kata hatinya. Jika hati ini berkata : pegang seorang anak dan pukul dia, Dia memegang seorang anak yang terdekat dari dia, lalu dipukulnya. Rasanya pada Open, ia memukul hanya pelan-pelan, tapi dari telinga anak itu ke luar darah. Dan inilah sebabnya datangnya orang tua murid yang kena pukul itu ke sekolah, guru kepala memaki-maki Open dan akhir cerita : Open diberhentikan. Tapi waktu Open mau pergi meninggalkan sekolah celaka itu, ia menentang guru kepala, dan tegas-tegas katanya, “Satu hal Tuan harus akui. Saya tidak goblok. Saya hanya menceritakan kepada anak-anak, bahwa istri saya pernah mengejar saya dengan golok. Saya lari … dan anak-anak menamakan saya dari sejak itu guru goblok. Mengapa, Tuhan saja yang tahu. Saya tidak.” Sudah itu ia pergi, kepala terkulai menghadap ke tanah dan waktu ia baru saja menginjakkan kakinya di atas jalan besar, anak-anak bersorak ramai-ramai dan sekarang lebih keras dari biasa, “Selamat pergi guru goblok … blok … bloook.” Open tidak mau menengok ke belakang lagi. Ini sudah tabiat Open. Jika ia sudah ambil keputusan dengan sesuatu hal, ia tidak mau menengok ke belakang lagi. Dinaikinya sepeda antiknya dan pelan-pelan ia menuju ke rumahnya. Ada baiknya, diceritakan sedikit, bagaimana jadinya sepeda ini jatuh ke tangan Open. Tentu saja bukan boleh dicurinya. Sepeda ini dibelinya dengan uang simpanannya, dibeli secara halal. Lagi pula, jika betul-betul dicurinya ini pasti akan dikatakannya kepada siapa pun yang mau mendengarkan. Dan karena ini tidak pernah keluar dari mulutnya, dapatlah dipercayai, bahwa sepeda itu dibelinya dengan cucuran keringatnya. Apa yang keluar dari mulut Open tentang pembelian sepeda itu adalah ini, Ia sudah lama hendak membeli sepeda. Pada suatu hari dating seorang Belanda gemuk padanya membawa sebuah sepeda.” Kata Belanda itu, sepeda ini ia mau jual, apa Open mau beli. Open berpikir sebentar, lalu menjawab, bahwa ia mau beli, tapi uang simpanannya Cuma ada seratus rupiah dan apakah Tuan Belanda itu mau menjualnya seharga segitu. Tuan Belanda itu tidak keberatan, tapi katanya, lampu Berkonya ia harus buka dulu, dan kedua bannya ditukar dengan yang usang, kedua belah pedalnya akan ditanggalkannya. Open tidak keberatan, diberikannya uang yang seratus rupiah itu, dan keesokan harinya Open menerima sepeda, yang hampir telanjang. Tapi sepeda itu jalan dan ini yang penting baginya. Ia bersyukur, karena ia telah mengkarunia dia dengan satu sepeda. Dan dalam keadaan Open seperti sekarang ini, tidak punya pekerjaan lagi, diusir sebagai anjing boleh dikatakan, pada waktu ini lebih-lebih lagi ia bersyukur karena punya sepeda ini. Waktu ia menaiki sepeda itu, terasa kepadanya ia seolah-olah menaiki kuda yang dicintainya dan yang berguna sekali sebagai teman hidup dalam hari-hari kesusahan, ia sebenarnya ingat untuk menjual sepeda itu sewaktu-waktu. Dengan ingatan itu, Open merasa lega sedikit. Dan sekarang dapat ia mempergunakan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang llain. Apa sebenarnya yang terjadi? Anak-anak nakal, ia memukul seorang anak sampai berdarah telinganya. Ia diberhentikan dan anak-anak boleh belajar terus dengan senangnya. Di mana letak keadilan? Ibunya berkata, “Open engkau harus berterus terang dalam segala hal. Dengan jalan begitu engkau dapat memajukan dunia yang penuh dengan kebohongan ini.” Dan perkataan ibunya ini benar seratus persen, pada pendapat Open. Ke mana pun juga ia melihat, selalu ia bertemu dengan kebohongan, kebusukan-kebusukan yang disimpan baik-baik. Kelas sekolah bagi Open adalah tempat yang terbaik untuk menyebarkan benih terus terang ini. Itu sebabnya ia jadi guru, tapi akhirnya itu pula sebabnya yang melemparkan dia dari kelas itu. Buat pertama kali terasa kepada Open, bahwa dunia penuh dengan kurang terima kasih. Yesus kristus disalib, Nabi Muhammad diuber-uber dan diperangi. Dan waktu Open ingat kepada Nabi Muhammad ini, timbul dalam dadanya keinginan yang tak tertahan-tertahankan untuk melemparkan segala keduniawian ini, menukar pantalon dengan kain, topi helm dengan pici. Didorongnya sepedanya masuk toko buku. Dibelinya sebuah Quran terjemahan Moh. Yunus dan inilah permulaan perjalanan kehidupan Open sebagai mualim. Tapi masih ada kesukaran-kesukaran yang harus dilalui Open, sebelum ia sampai kepada maksudnya ini. Kesukaran yang pertama ialah dengan istrinya. Orang perempuan hanya boleh dikagetkan dengan kabar-kabar seperti yang dibawa Open pada hari ini. Apa arti berhenti bekerja bagi seorang istri? Habisnya kesenangan, tidak berasapnya dapur dan malu pada tetangga-tetangga. Perkelahian hebat pada waktu itu. Tapi hal ini tidak akan berakibat apa-apa, jika istri Open tidak bertanyakan, “Apa sebabnya ank-anak menamakan engkau guru goblok?” Dan Open setia akan janjinya kepada ibunya, menceritakan segala-galanya dan waktu istri ini mendengar, bahwa namanya dibawa oleh Open ke muka kelas, ia tak dapat menahan hatinya lagi. Dijangkaunya Quran yang masih dipegang Open, lalu dirobek-robeknya dan dimasukkannya ke dalam api. Jika perkelahian sudah sampai kepada bakar membakari sesuatu yang disenangi oleh salah seorang laki istri, maka segala jalan untuk berbalik lagi semua tertutup rapat, kecuali jalan bercerai. Penuh dengan kemarahan, ditinggalkan Open istrinya itu, pergi ia ke tukang lowak untuk menjual sepedanya. Sepeda yang dibelinya seratus rupiah dulu itu, sekarang tak ada orang yang mau membelinya lebih dari tiga puluh lima rupiah. Tukang lowak yang sseorang mengatakan, bawha ia sebenarnya hanya membeli batang sepeda itu saja, karena bannya telah usang, pedal tak ada, bagase tak ada, roda-rodanya telah karatan. Tukang lowak yang lain kebetulan hanya tertarik kepada roda-rodanya saja, karena batangnya sudah bengkok, bannya telah usang dan segala macam tak ada. Dan ada pulang tukang lowak yang kedorong mulutnya dan berkata, bahwa ia sebenarnya hanya membeli pedalnya. Tapi waktu dilihatnya, bahwa pedal sama sekali tak ada di sepeda itu, lekas-lekas dirobahnya dengan membeli jari-jari saja. Akhirulkalam Open menjual sepeda itu dengan harga tiga puluh lima rupiah dan dengan uang itu ia kembali ke desa orang tuanya. Desa itu seperti desa-desa lainnya tidak punya penerangan, tidak punya took buku, tidak punya kamar kecil. Jika perut Open merasa sakit, ia pergi ke pematang dan samabil memain-mainkan batang padi pula, lalu dekatnya seorang gadis dan Open menjadi demikian malunya, sehingga ia dengan perut sakitnya buru-buru pulang dan tiba di rumah ia mrentak-rentak kepada ibunya, “Kita harus punya kamar kecil. Aku tidak tahan lama-lama begitu. Tadi Surtiah jalan dekatku dan aku malu sangat.” Dan ibu Open mengabulkan permintaannya, karena pikirnya, “kasihan Open.” Ia baru berserai dengan istrinya. Biar kukabulkan segala permintaannya, supaya senang hatinya dan bias lekas melupakan segala yang pahit-pahit dalam kehidupannya dulu. Begitu selalu seorang ibu, selalu kasih saying kepada anak, selalu khawatir akan anak. Tapi dengan Open ini ibu itu sebenarnya tak perlu khawatir. Waktu ia menerima uang tiga puluh lima rupiah dulu, ia sudah tidak ingat lagi kepada kejadian-kejadian yang berlalu : tidak kepada istri yang baru diceraikannya, tidak kepada guru kepala yang memaki-maki, ya juga kepada sepedanya yang sudah menjadi milik tukang lowak dan yang masih di pelupuk matanya. Demikian Open. Ia lekas lupa kepada kejadian-kejadian yang berlalu dan ia tak pernah memikirkan kejadian-kejadian yang akan datang. Ia adalah manusia waktu. Jika waktu berjalan, ia ikut berjalan dengan waktu itu. Dan jika waktu berhenti … Open sudah lama tak ada di dunia ini lagi. Tidak, bukan seperti pikiran ibunya itu pikiran Open. Ia hanya malu sangat kepada Surtiah dan itu sebabnya mendesak menyuruh bikinkan kamar kecil di rumah ibunya itu. Tidakkah ada sebabnya yang lain? Ada, tapi karena ini belum keluar dari mulut Open sendiri, mak ahal itu masih disangsikan. Tidakkah harus dicurigai cara Open melarikan diri dengan sakit perutnya masih di perutnya menuju rumahnya dengan cara ia mendesak kepada ibunya dan cara ia malu kepada Surtiah, sesuatu yang di desa sebenarnya tak perlu dimalukan. Surtiah seorang gadis desa betul-betul. Jari kakinya jarang-jarang dan telapak tangannya bintul,bintul, bukan karena dimakan nyamuk, tapi karena dimakan gagang pacul. Hanya dalam satu hal ia sama dengan gadis-gadis di kota : buah dadanya besar-besar, tapi di sini pun ada perbedaan-perbedaan sebab, dengan gadis-gadis di kota. Jika buah dada gadis-gadis di kota besar-besar karena dansi-dansi dan foya-foya, buah dada Surtiah besar, karena darah sehat mengalir dengan biasa, karena badan bergerak setiap hari, karena memacul dan memotong padi dan menjunjung bakul nasi untuk ayah dan ibunya bekerja di sawah. Manis mukanya, tapi ini tak begitu penting bagi cinta yang mau mekar. Ini tentunya, jika kita dapat berkata “cinta” tentang perasaan Open pada waktu itu. Open sendiri sudah lupa kepada kejadian pertemuan Surtiah. Ia sekarang banyak ngelamun. Pikiran pergi ke alam abstrak. Apa maksud hidup di atas dunia? Terus terang, seperti kata ibunya? Ya, jawabnya. Dengan menjadi guru kembali, menyebarkan benih terus terang di muka kelas? Tidak, jawab Open pula. Apakah agama? Kesucian, jawab Open. Dari mana datang kesucian? Dari kebenaran, jawab Open. Bagaimana menyebarkan benih ini sebaik-baiknya? Dengan jadi mualim, jawab Open. Dan Open bertekuk muka di atas buku-buku agama. Sifat dua puluh diapalnya di uar kepala, ayat Yasin setiap hari diulanginya, sembahyang lima waktu dilakukannya dengan taat dan segera Open terkenal di desa itu sebagai mualim muda yang baru datang dari kota. Orang tidak dapat menjadi besar tiba-tiba. Ia harus mulai dari permulaan dan lama-kelamaan dan setingkat demi setingkat ia dikenal orang dan akhirnya terpancanglah namanya sebagai ahli filsafat besar, pengarang besar, Nabi besar atau pun juga mualim besar. Ini diinsafi Open dengan hati berat dan terpaksa, ia harus mulai dari permulaan, yaitu mengajar anak-anak membaca alif bata, kembali jadi guru, tapi sekarang jadi guru agama. Sungguhpun begitu, kejadian yang berlaku sewaktu ia jadi guru sekolah rakyat duku, sekarang kembali pula, artinya ia kembali berhadapan dengan anak-anak nakal. Bulan-bulan pertama tak ada kejadian apa-apa. Anak-anak menderu alif bata seperti mobil menderu di jalan besar dengan kecepatan enam puluh kilometer sejam. Segera Open dapat menutup kitab permulaannya itu dan sekarang dapat ia mulai dengan mengajar sendi-sendi agama islam. Salah satu dari sendi ini, ialah sifat dua puluh, yaitu dua puluh sifat-sifat Tuhan yang tidak boleh dikomentari atau diragukan. Sifat- sifat ini harus ditelan mentah-mentah, tiada dengan bukti-bukti seperti yang diberikan Spinoza, sama saja dengan menelan pil kinine, biar pun pahit, tapi memberi harapan akan sembuhnya penyakit dalam badan. Dan seperti juga dalam hal lain-lain dalam mempelajari agama Islam di desa-desa atau langgar-langgar, semuanya harus diapal di luar kepala dan dideru sewaktu-waktu, ujud, qidam, baqa …. dan terus sampai sifat yang kedua puluh. Celakanya bagi Open, di antara murid-muridnya ada seorang anak Jawa. Seperti semua orang Jawa totok, mengucapkan a di belakang sesuatu perkataan, adalah sangat susah. Begitu ia ini selalu menderu sifat dua puluhnya seperti ini, ujud, qidam, bako … tiba di sini selalu ditahan Open, anakku sayang, bukan bako tapi baqa …. a … a … Anak Jawa itu menderu lagi, ujud, qidam, bako … ujud, qidam, bako … Seorang murid karena panas hatinya pelajaran begitu lama tertahan oleh murid Jawa ini, menunggu kesempatan baik untuk melepaskan panas hatinya itu. Dan waktu murid Jawa itu hendak menderu pula, ujud … anak yang panas hati ini meneruskan keras-keras, ujud, qidam, bako, sigaret, lisong … Mendengar ini semua murid tertawa keras-keras dan beberapa orang mengulangi, ujud, qidam, bako, sigaret lisong … Muka Open bukan main merahnya karena marah dipukulnya anak nakal itu, tapi syukurlah kejadian itu tidak berakibat berhentinya Open jadi guru agama dan mualim. Hal ini diceritakannya kepada ibunya, Open kelihatannya sangat bersedih hati. Ibunya mula-mula mengeluarkan perkataan-perkataan penghibur, tapi kemudian pikirnya dengan agak gembira, sebenarnya itu bukan pekerjaanmu lagi terhadap anak yang sebesar ini. Yang harus menhibur ialah seorang perempuan, istri Open, dan tiada diketahuinua katanya kepada Open, “Open, bagaimana, kalau engkau mencurahkan perasaanmu. Ibumu ini sudah tua, kadang-kadang banyak tak megerti lagi akan perasaanmu itu. Bagaimana, kalau aku minta Surtiah? Mendengar nama Surtiah ini, Open ingat akan pertemuannya dulu, waktu ia sedang menjongkok mengeluarkan isi perutnya, sambil memain-mainkan batang padi. Bagaimana malunya waktu itu berlari menuju rumahnya, sambil memegang pinggang celananya. Ya, sampai sekarang pun ia merasakan malu itu, dan sebab itu ia menjawab, “Aku malu.” Ibunya yang tak tahu jalan pikiran Open, berkata, “Apa yang kau malukan, Nak.” Bangsa kita lebih tinggi daripada orang tua Surtiah. Engkau mualim dan Surtiah adalah perempuan biasa saja. Tidak, biarlah kubicarakan hal ini dengan orang tua Surtiah. Dan seperti kecepatan dalam dogeng, Surtiah dua minggu setelah itu telah di samping Open. Dan waktu Open membuai, bagaimana harumnya bau mulut Surtiah, tahulah dia, bahwa pilihan ibunya adalah benar adanya. Pada suatu hari dibawa Open Surtiah ke kota. Di sini mereka bertemu dengan seorang mualim pula. Tapi anehnya pada mualim ini, ia tidak pakai kain, tapi pantalon, sama saja dengan seorang klerk di kantor. Pun peci ia tidak pakai, rambutnya pakai 4711 dan disisir rapi-rapi, persis seperti student sekolah tinggi. Mula-mula hal ini agak mengecewakan Open, apalagi Surtiah. Tapi waktu mualim kota ini berkata tentang agama, kebenaran dan tujuan hidup, tabulah Surtiah dan Openpun juga, bahwa cara berpakaian, tidaklah suatu tanda mutlak bagi kepintaran dan kebesaran seorang mualim. Mualim kota ini selanjutnya berkata, “Orang banyak salah faham. Misalnya tentang pakaian saja. Umum mengatakan, bahwa mualim tidak boleh pakai pantalon. Tapi dalam Quran atau kitab-kitab apa pun juga tak ada satu baris pun yang melarang hal ini. Sebab itu aku sengaja pakai pantalon untuk melawan pendapat umum itu. Pun kata umum, mualim tidak boleh mengarang, itu sebabnya akau mengarang.” Mengarang? tanya Open. Sebenarnya Open mengeluarkan pertanyaan itu bukan karena kaget, tapi karena ia pun dalam beberapa hari belakangan ini pernah memikirkan kemungkinan ini. Ia merasa terlalu banyak yang hendak dikatakannya kepada banyak orang. Kelas sekolah hanya berisi tiga atau empat puluh murid. Orang-orang desa yang belajar agama padanya paling banyak tujuh puluh orang. Dan dengan mengarang kita kelas dapat berkata kepada beribu-ribu orang. Sebab itu tanyanya lagi, “Apa yang tuan karangkan?” Mualim kota ini menjawab, “Segala macam, roman pun juga.” Sekali ini Open betul-betul kaget, “Roman?” “Ya,” jawab mualim kota itu. “Percintaan seorang gadis dan seorang pemuda misalnya. Bisa saja, tapi berisi … berisi.” Sekian percakapan itu. Open dan Surtiah pulang ke desanya. Tak lama datang orang-orang sipil berkulit kuning, pendek-pendek, pakai baju kaki, kaplaars tinggi dan segala senjata pembunuh. Semua orang jadi melarat. Kain mualim Open robek-robek sudah. Untuk beli yang baru kainnya dan uangnya tak ada. Dan waktu kain itu sudah jadi topo, kata Surtiah pada suatu mala, “Kak pantalon banyak. Pakai saja pantalon. Ingat mualim kota dulu.” Open memeluk sayang istrinya, dan keesokan harinya, hari keduanya dan hari seterusnya, Open pakai pantalon. Orang-orang desa tercengang. Beberapa orang berbisik-bisik, “Lihat, mualim kita sudah gila.” Ya, ada pula yang berani berkata, “Mualim kita sudah jadi mata-mata Jepang – Awas, jangan didatangi rumahnya lagi. Jangan dibiarkan lagi anak-anak belajar sama dia.” Akhirnya semua ini tak tertahankan lagi, lebih-lebih oleh Surtiah. Pada suatu malam pula, kata Surtiah kepada Open, “Kak, mari kita ke kota. Coba mengarang di sana. Ingat mualim di kota dulu.” Open memeluk sayang istrinya pula dan mereka pergi ke kota. Open jadi pengarang. Open dan Surtiah tiba di kota. Orang yang pertama sekali dikunjunginya ialah mualim dulu yang selalu pakai pantalon itu. Maksud Open hanya untuk bercakap-cakap saja tentang pekerjaan karang mengarang mualim itu. Tapi saying ia tak sampai bertemu, karena kata istri mualim itu, suaminya beberapa bulan yang lalu ditangkap Jepang. Sebabnya ialah, karena ia tak amu bekerja bersama-sama dengan Jepang, tak mau membacakan khotbah Jumat yang telah disiapkan oleh kantor urusan agama Jepang. Setelah mendengar ini, tiba-tiba pandangan Open terhadap segala apa yang dilihatnya berlainan sekali. Jika ia melihat orang di tengah jalan pakai celana karung, timbul pertanyaan padanya, mengapa? Jika ia bertemu dengan orang-orang minta-minta, ia tak lekas memarahi orang itu dengan perkataan : pemalas, kunyuk, tapi ia bertanya dalam hatinya, mengapa? Jika ia melihat orang mati di tepi Kali Ciliwung … mengapa? Dan waktu dilihatnya orang-orang lain yang melewati mait-mait itu, tak sedikit pun mengacuhkan mait-mait itu, timbul dua kali dalam hatinya : mengapa, mengapa? Kembali ia ingat kepada mualim yang ditangkap Jepang dan waktu timbul pula dalam hatinya pertanyaan : mengapa, mengapa, semua segera menjadi terang benderang baginya. Jepang datang bukan untuk kemakmuran, Jepang datang untuk memperkosa kemerdekaan lama, untuk melaparkan dan menelanjangi bangsa Indonesia. Dan orang indonesia sendiri tidur lelap, seperti sejak tiga abad yang lalu. Dan seperti terpedo ke luar dari kapal selam, keluar perkataan dari mulutnya, “Rakyat Indonesia harus dibangunkan, dibangunkan, dibangunkan!” Dan hampir bersamaan terbayang dihadapannya wajah ibunya, “Open, engkau harus berterus terang.” Sudah itu Open menjadi manusia lain, ya bukan manusia lagi, ia adalah ketel kepala kereta api yang berisi uap berlebih-lebihan dan yang sewaktu-waktu akan meletus, menghancurkan segala yang menghalangi, segala kebusukan manusia. Duduk di hadapan meja tulisnya menghadapi kertas-kertas tulis, ia melihat rakyat Indonesia yang tidur nyenyak itu beramai-ramai menanam pohon jarak dan di atas, di udara dilihatnya kapal-kapal terbang yang diminyaki dengan minyak jarak itu, membawa bom-bom dan melepaskan bom-bom itu di tengah-tengah orang-orang menanam jarak itu. Terbayang pula di hadapan matanya petani-petani membungkuk-bungkuk menyabit padi dan tiada seutuhnya mendengking di talinganya perkataan-perkataan Mulatuli, “de rijst is neit voor deenen, die zij geplant hebben.” Timbul pula kejadian sehari-hari di tepi Kali Ciliwung orang-orang telanjang bulat berebut-rebutan bangkai anjing yang kebetulan dibawa oleh arus Kali Ciliwung. Dan segera Open mencatat di atas kertas di hadapnnya, “Bangkai merebut bangkai.” Open melihat di mukanya, bangkai anjing itu dimakan oleh seorang yang beruntung dapat merebutnya dan ditulisnya sebagai catatan, “Bangkai makan bangkai.” Dilihat Open pula yang lain-lain dengan iri hati melihat temannya makan sendirian. Sedikit pun tak ada tegoran makan dari orang yang beruntung ini. Perasaan kemanusiaan sudah hilang seperti hilanya rasa malu. Lalu Open menulis di atas kertasnya, “Anjing makan bangkai.” Sudah kenyang orang makan bersender di batang sebuah pohon yang rindang. Pelan-pelan ditutupnya matanya dan tiba-tiba ia terguling di atas tanah sambil memegang perutnya dengan kedua belah tangannya. Dan Open menulis, “Bangkai jadi bangkai.” Yang lain-lain bersorak kesenangan. Pelancong-pelancong berjalan dengan senangnya, sambil mengisap sigaret “KOOA” Dan Open menulis, Kooa diisap orang tidur.” Akhirnya terbayang pada Open ibunya, “Open engkau harus terus terang dalam segala hal.” Dan Open segera mulai menulis, menulis, tak putus-putusnya. Tangannya terlalu lambat untuk menurutkan jalan pikirannya. Ia menulis, menulis, dan siap sebuah karangan. Open dengan karangan itu pergi kepada seorang redaktur. Ia ini kecil kurus mukanya melihatkan onani dan bajunya melihatkan uang Jepang. Tapi hatinya baik dan katanya, “Tuan, ini berbahaya bagi Tuan sendiri. Lebih baik Tuan simpan saja. Atau bakar. Apa gunanya menggambarkan tai kebo, jika ada pemandangan alam yang indah-indah. Lihat ke Priangan, lihat Selecta dekat Malang, pasti pandangan Tuan terhadap kehidupan akan berlainan sekali. Pasti Tuan akan sedang dan tertawa melihat kehidupan. Kehidupan tidak sejelek yang Tuan gambarkan itu.” Open pulang, tapi dalam hatinya ia berkata : pantas, muka Tuan kurus dan baju tuan bagus. Dan Open pulang dengan kesal hati. Di rumah Open berpikir. Redaktur itu berkata, karanganku tai kebo. Ya, betul tai kebo. Kelihatannya jelek, tapi jika dipakai sebagai pupuk, bisa menyuburkan kehidupan pohon-pohon. Dan pohon-pohon itu, ialah bangsa Indonesia yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Dan Open menulis lagi karangan yang lain, disimpannya baik-baik dalam lipatan kain Surtiah. Kesenangan mengarang terasa segera bagi Open, tapi Surtiah pada suatu hari berkata, “Kak, karangan-karangan itu bagus, tapi kia hampir mati kelaparan. Sebab itu carilah pekerjaan.” Mula-mula perkataan Surtiah ini dijawabnya dengan manis, tapi lama-kelamaan jawaban itu menjadi agak pedas. Dan pada suatu hari, waktu Open sedang mengarang, waktu Surtiah mendesak suruh cari pekerjaan juga, Open melemparkan penanya dan berkata, “Engkau selalu menganggu aku. Kau kira aku tidak bekerja? Nyahlah engkau. Pulang ke desa.” Ini diucapkan seungguh-sungguh oleh Open dan Surtiah merasa; ia memang lebih baik pulang saja ke desa. Mudah-mudahan Open pada suatu ketika memerlukan dia kembali dan ia tentu akan segera kembali ke kota. Tapi sekarang ini, lebih baik ia pulang saja ke desa. Dan Surtiah dengan sedih hati pulang ke rumah orang tuanya. Merasa lega ditinggalkan istrinya. Open terus lagi mengarang. Suatu hari satu cerita pendek. Tidak peduli, tidak diterbitkan. Ia harus menurutkan bisikan kalbunya dan ia harus ingat akan perkataan ibunya. Dan untuk keduanya ia tak peduli ditinggalkan istrinya. Ya, mati sekalipun ia mau. Hanya satu karangan Open diterbitkan orang. Pusat Kebudayaan Jepang mengadakan sayembara dongeng-dongeng, Open ikut menulis. Ia pernah dengar satu dongeng dan sekarang ia mau menuliskannya. Dogeng itu tentang seorang Papua seratus tahun yang lalu. Papua ini, seperti Papua-Papua yang lain menyembah berhala. Tapi ia tak pernah tertolong oleh berhala itu. Selalu saja ia sial, jika menangkap ikan. Berpuluh kali ia menyembah berhala, tapi ia tak pernah dapat ikan banyak. Akhirnya ia berpikir, bahwa menyebah berhala itu sebenarnya tak ada gunanya. Buat apa menyembah berhala, jika tak dapat menolong dia? Papua ini lalu pergi dari kampungnya dan tiba di pantai. Disini ia berkenalan dengan manusia yang lain sekali. Manusia ini seluruh badannya ditutupi kain, jadi tidak telanjang bulat seperti dia. Tapi yang mengherankan dia sekali, ialah mengapa orang-orang ini selalu berhasil menangkap ikan banyak-banyak. Pada suatu kali diberanikannya hatinya menanyakan hal ini. Siapa yang memberi mereka ikan sebanyak itu? Semua orang itu menjawab, sambil menunjuk ke langit, Tuhan Allah, Tuhan Allah. Keinginan hendak mengetahui lebih banyak menusuk-menusuk hati Papua ini, dan dari sejak itu mulailah ia mempelajari Tuhan Islam dan akhirnya ia masuk menganut agama Islam, karena sekarang ia yakin, bahwa tak ada suatu apa pun di atas dunia yang dapat menentukan nasib manusia, selain Tuhan Subhanahu Wata’ala. Karangan Open ini diterbitkan, bahkan mula-mula mau diberi hadiah no. 1, tapi kemudian sensur Jepang menyesal telah meluluskan karangan itu. Terlambat sensur ini melihat, bahwa karangan ini sangat berbahaya. Bahwa karangan ini adalah serangan sehebat-hebatnya terhadap Tenno Heika. Terlambat, tapi ada satu yang belum terlambat, yaitu menangkap Open. Open diminta datang di Kenpeitai. Di sini ia tidak ditanyai baik-baik, tapi segera dipukul dan dipaksa mengaku, bahwa karangan itu adalah serangan atas Tenno Heika. Sebenarnya memaksa Open tidak perlu sama sekali, karena ia tokh akan mengatakan dengan terus terang, bahwa karangan itu memang dimaksudkannya begitu. Tapi katanya pula dongeng itu bukan dibikin-bikinnya begitu saja, tapi betul-betul pernah didengarnya dan mungkin sekali betul-betul pernah terjadi. Setelah mengaku Open dipukul lagi. Darah mengalir di seluruh badan. Setelah itu ia disuruh mandi, sampai kaku, lalu disuruh duduk di bawah panas terik. Beberapa hari sudah itu dengan sendirinya luka-luka di badannya baik kembali. Rupanya demikian cara Jepang mengobati luka-luka: dimandikan sampai kaku, dijemur sampai terbakar, dan luka baik dengan sendirinya, tidak dengan jodoform atau jodium tinctuur atau zalf, tapi dengan obat-obat yang disediakan alam. Hampir tidak dapat dipercayai. Sejak itu Open ditutup dalam kamar terkunci. Badannya tambah lama tambah kurus, tapi mujurlah ia tak pernah dipukul-pukul lagi. Dalam kamar tertutup itu, buat pertama kali Open insaf akan harga kemerdekaan. Kemerdekaan ada dua macam : kemerdekaan jasmani dan kemerdekaan rohani. Kemerdekaan jasmani boleh diambil orang lain, seperti halnya dengan dirinya sekarang ini, tapi kemerdekaan rohaninya tiada seorang pun yang bisa mengambilnya. Ia bisa pergi kemana-mana denagn pikirannya, biar pun di sekeliling badannya menjulang tinggi tembok empat persegi. Tapi kemedekaankah tujuan hidup? Tidak kemerdekaan hanya alat untuk mencapai tujuan itu. Dan apakah tujuan itu? Buat orang lain mungkin jawaban ini bermacam-macam, tapi karena Open dididik dalam masyarakat Islam dan pernah menjadi mualim pertanyaan ini lekas terjawab, yaitu : Menjunjung tinggi perintah Allah; agar dapat masuk ke dalam Surga dan di sini dapatlah ia bertemu dengan Allah dan bersatu dengannya. Pada waktu yang lain, ia ingat kepada ibunya: Open, engkau harus terus terang dalam segala hal. Sebenarnya maksud ibunya sama saja Tuhan ... Kesucian ... Terus terang .... Kebenaran. Ibunya memang bukan orang desa lagi, sekolah HIS di kota. Tapi karena selalu bergaul dengan orang-orang sederhana, ia mengucapkan segala-galanya secara sederhana pula, ia bukan mengatakan Tuhan atau Kesucian atau Kebenaran, tapi Terus terang. Ya, sama saja maksud ibunya sebenarnya. Sejak Open menjadi pengarang, ia banyak membaca buku-buku filsafat. Pada waktu ia dalam penjara Kenpeitai ini, dalam mana ia kadang-kadang hampir-hampr menjadi gila dan putus asa, selalu ditutup dalam kamar kecil, buang air besar dan buang air kecil, makan dan minum di tempat itu juga, pada waktu penderitaannya memuncak, hanya satu ahli filsafat yang menemani kesengsaraan: Boethius. Ya, kadang-kadang ia merasa ialah Boethius sendiri. Dipenjarakan, karena hendak berbuat baik kepada manusia sesamanya, ia dipenjarakan oleh kebaikan itu sendiri. Tapi Boethius berkata, kesengsaraan itu sebenarnya tidak apa-apa. Hanya anggapan yang salah terhadap kesengsaraan itu, itu yang menjadikan orang putus asa dan mereka celaka. Perkataan Boethius berkata ini tergores dalam hati Open sebagai suatu kebenaran dan adalah hiburan baginya, setelah ia yakin, bahwa kewajibannya dalam penjara itu ialah menghilangkan anggapan salah tentang kesengsaraan. Kesengsaraan bukan musuh, anggapan itulah yang musuh. Dan setelah ia dapat melepaskan anggapan itu dan dapat melihat kesengsaraan yang dideritanya sebagai sewajarnya, ia mengucap syukur kekpada Tuhan dan terima kasih kepada Boethius. Demikian ia dengan sabar dapat menanggungkan penderitaannya dalam penjara Kenpeitai itu. Dan waktu Republik Indonesia diproklamasikan, ia dilepas. Badannya memang agak kurus sedikit, tapi isi pikirannya bertambah gemuk. Ini bukan Open yang dulu lagi, ini adalah Open yang berlainan sekali, lebih berfaham dan melihat kehidupan secara lebih luas. Itu sebabnya ia tidak ikut-ikutan dengan revolusi membunuh Jepang, Belanda Indo dan Tionghoa. Revolusi baginya baik, tapi segera ia menunjukkan anasir-anasir yang jahat, ia harus dicekek kembali, dialirkan melalui tempat tempat yang baik, menuju cita-cita yang sama juga. Revolusi baik. Dia sendiri mengalami revolusi yang paling hebat dalam dirinya sendiri. Revolusi tidak lain daripada akibat evolusi yang berlaku, evolusi berupa pemerasan perlahan-lahan dan secara teratur. Tapi revolusi tidak membunuh, revolusi hanya berarti menggoncangkan yang ngelamun dan membangunkan yang tidur dan melompat selangkah besar menuju cita-cita. Dalam pada itu karangan-karangan yang dibikinnya dulu diterbitkan orang dan segera nama Open terkenal ke mana-mana. Satu dua kali ia mendapat surat dari pembaca, yang mengancam dia jika berjani juga mengeluarkan karangan-karangan yang kotor itu. Dan ada pula yang menamakan dia pengarang tolol. Tapi ini hanya kekecualian. Biasanya ia dapat penghargaan dari kanan kiri. Open sendiri girang membaca karangan-karangan itu kembali, tapi sesuatu dalam hatinya berkata, bahwa ia rasa tak bisa membikin karangna-karangan seperti itu lagi. Jika ia nanti tokh menulis lagi, pasti akan berlainan sekali, lebih halus barangkali dan mungkin juga lebih berisi. Tapi sekarang ia belum bisa. Ia memang telah banyak memikirkan soal-soal kehidupan yang pelik-pelik, tentang tujuan hidup, kebenaran, kesucian ataupun juga yang disebut ibunya dengan terus terang itu, tapi ia merasa serasa ada lowongan masih dalam kalbunya yang harus diisinya dulu dengan air kefilsafatan yang merupakan pandangan hidup yang lebih tegas. Tidak, sekarang ini biarlah Open mengeluarkan karangan-karangannya yang dulu satu per satu dan tiada menulis yang baru. Ia tahu dan yakin, bahwa pada suatu ketika lowongan dalam kalbunya pasti akan terisi penuh dan barulah tiba waktunya untuk menulis lagi dengan keyakinan yang lebih tegas. Waktu revolusi mulai tenang, Open terpaksa mencari pekerjaan untuk hidupnya. Ia dapat pekerjaan, mula-mula sebagai penolong tukang jahit, tapi kemudian ia kelas pintar menjahit sendiri. Pekerjaan ini membawa dia ke pergaulan dengan sampah-sampah masyarakat segala bangsa: serdadu Inggris, serdadu Belanda, serdadu Gurkha dan serdadu Inlander. Dari sehari ke sehari ia berkenalan rapat dengan segala kejahatan yang ada di dunia, tapi ia sebagai penonton cuma. Jika jiwanya seperti dulu juga, pasti semua ini akan dituliskannya menjadi cerita pendek dan roman. Tapi sekarang ini semua itu dilihatnya belaka, dimasukannya ke dalam hatinya, dianalisirnya, dijadikannya unsur bagi air filsafat yang mengisi lowongan dalam kalbunya itu. Malam-malam, sebelum tidur bayangan-bayangan mengejar dia. Di sana kelihatan olehnya serdadu-serdadu Gurkha sedang membunuh perempuan, merampas barang perhiasan dan kehormatannya, membeli baju dengan uang perempuan itu dan menyuruh bikinkan baju itu kepada Open. Sebentar lagi berdiri di hadapannya serdadu Belanda, yang berkata selalu akan mendatangkan keamanan di Indonesia, yang tak pernah mengganggu orang katanya, ya mengganggu binatang dan hubungan ia ini tak pernah. Datang pula sedadu Inggris yang dengan senang hati mengatakan, bahwa ia baru saja datang dari Bekasi, setelah membakar kampung itu habis-haibsan. Ini bukan manusia yang berdiri di hadapan Open. Manusia ialah pribadi dan orang ini tak ada sedikit pun kepribadiannya. Bersusah payah ia minta pakaian kepada kaptennya dan bersusah payah pula ia minta pada Open supaya upah buat dia diturunkan. Dan waktu Open menolak, ia diancam dengan bayonet. Open tenang saja, membiarkan dirinya ditembak. Di sini Open tertawa. Lalu ia berkata sendiri dengan dirinya, “Orang-orang jahat, biar pun bentuk badan manusianya tetap seperti orang lain, tapi menurut isi kalbunya mereka sebenearnya telah berubah jadi binatang buas.” Demikian Open saban malam sampai kepada sesuatu kesimpulan dan ia percaya dan yakin, bahwa semua kesimpulan itu pada suatu waktu akan mendekatkan ia kepada terus terang yang sebenarnya, tidak terus terang seperti yang diamalkanya, waktu ia jadi guru sekolah rakyat dulu. Dan lama kelamaan, bersamaan dengan bertambah penuhnya lowongan dalam kalbunya, bertambah terasa kepadanya, bahwa kehendak menyendiri seperti dulu, egoisme dulu, bertambah lama bertambah jauh daripadanya. Apa sebabnya ia menyuruh Surtiah pulang dulu itu? Karena ia tak mau diganggu dalam jalan pikirannya dengan soal-soal cari pekerjaan. Ini adalah anasir egoisme. Sekarang semuanya ini tak terasa lagi padanya. Bahkan sebaliknya dari sehari ke sehari bertambah keyakinannya, bahwa Surtiah berguna sekali bagi kehidupan rohaninya. Surtiah tidak akan menjadi gangguan lagi baginya. Tidak, tidak Surtiah adalah tulang punggungnya. Secara Open menulis surat kepada Surtiah dan tiga hari sudah itu Surtiah datang bersama ayah dan ibunya. Pun ibu Open datang pula. Rumah Open seketika menjadi ramai. Buat seketika itu Open memang tidak bisa mempergunakan pikirannya untuk memikirkan hal-hal yang selama ini dipikirkannya. Tapi ia tidak merasa jengkel. Ia merasa perlu adanya selingan ini sekali-sekali dan waktu orang-orang tua itu kembali ke desanya, Open merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya dan dicintainya dan yang mengasihi dan mencintai dia. Surtiah melihat perubahan besar ini pada suaminya dan ia gembira seperti belum pernah sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar